RSS

pulkam pertamaku

Ibuuuuuuuuuuuu........aku pulaaaaaaaangggggggggggg!!!
Begitulah sekiranya yang ingin aku teriakkan ketika ku lihat ibuku berada di seberang jalan sesaat aku turun dari bus Sumber Alam di Pendhawa jam 9.39 pagi ini. Aku pun mendekati ibuku yang sepertinya terharu melihat kepulanganku. Aku pun merasa demikian. Ku titikkan air mata. Aku tak tahu makna di balik air mata itu. Mungkin karena aku rindu pada ibuku, atau mungkin karena rasa tak percayaku ketika aku kembali menuju kota kelahiranku.
Sungguh, aku merasa tak percaya bisa sampai di kota ini. Sendirian, itulah yang perlu di garisbawahi. Aku bahkan tak sadar sekarang aku berada di dalam kehangatan keluarga kecil ini.
Sebelum ku memasuki dan melihat secara langsung tugu yang menyuarakan, “SELAMAT DATANG DI KOTA PURWOREJO” ku masih terbayang-bayang apa yang ku lakukan selama di Jakarta. Namun, setelah ku masuki kota ini, melihat damainya jalan raya, angkot-angkot berwarna kuning yang nampak bersih, bangunan-bangunan yang dulu ku lewati saat perjalanan ke sekolah, semua begitu indah.
Tawaku mengembang ketika ku injakkan kaki di rumah yang membesarkanku. Ku ciumi tangan orang yang ada di rumah. Ku lihat sekeliling. Tak ada yang berubah dari rumah yang ku tinggal selama kurang dari 1 semester itu. Namun, kedatanganku ini rupanya mendapat sambutan dari anggota baru rumah ini. Seekor kucing kecil tak bernama. Ya, kata ibuku, kucing ini datang tak diundang. Mungkin, kucing ini dikirim Tuhan untuk menyambutku (*aneh). Ku langkahkan kaki menuju kamar yang selalu jadi tempatku merenung. Tak ada yang berubah, hanya saja sedikit berbeda. Lebih rapi, jauh sebelum aku pergi. Yah, lagi-lagi ku harus berTERIMA KASIH kepada TUHAN yang memberiku seorang adik. Yap, adikku lah yang merapikan kamarku. Indah. Ku lihat meja yang berada di sudut kamar. Terlihat sebuah kertas bertuliskan namaku “Mb MIA” di atasnya. Ku buka kertas itu. Begitu nyata gambaran diriku dalam kertas itu. Gambar dan tulisan hasil karya adikku. Tak ku sangka begitu rindunya adikku hingga ia memberikan sambutan ‘tak berharga’ namun begitu ‘berharga’ bagiku.
Tak lama kemudian datang adikku yang baru saja pulang dari sekolahnya, mengikuti les tambahan. Senyumnya terlihat lebar. Ia terlihat malu-malu melihatku. Mungkin ia tak tahu harus berbuat apa untuk meluapkan rasa rindunya. Aku pun segera mencairkan suasana yang agak kaku itu. Ku godai dia dengan mengatakan padanya bahwa ia tak kunjung besar dan badannya masih kecil seperti dulu. Ku ajak dia ke kamar. Ku ambil tas besar yang ku bawa. Ku ambil bungkusan plastik dalam tas itu. Sebuah baju berwarna hijau muda ku keluarkan dari plastik itu. Ku berikan baju bergambar anjing itu kepada adikku. Walau terlihat kebesaran, adikku senang menerimanya. Aku pun senang melihatnya senang.
Perjalananku ku lanjutkan menuju kamar mandi. Masih sama. Namun, lagi-lagi ku temukan anggota baru yang bertengger di samping kayu bakar di samping tungku bakar yang masih setia temani keluarga ini. Anggota baru itu memang baru datang kemarin. Terlihat badannya yang mulus dan berkilauan. Mungkin terlalu berlebihan untukku deskripsikan anggota baru itu karena sesungguhnya ia hanyalah sebuah mesin cuci. Ya, semenjak bapakku kecelakaan sekitar 2 bulan yang lalu, ibuku kerepotan untuk mencuci baju. Maka akhirnya diputuskanlah untuk membeli mesin cuci itu. Aku pun kini merasakan bagaimana tidakrepotnya mencuci baju sendiri karena kini mencuci adalah pekerjaan kakakku.
Pandanganku tertuju pada tungku bakar yang tak berpindah tempat itu. Melihatnya, ku ingat aku waktu kelas X dimana aku mendeskripsikan rumah. Saat itu pelajaran bahasa Inggris membahas Description Text. Aku pun menceritakan rumahku, tak lupa tungku bakar itu. Dan kini benda itu masih ada, masih berfungsi pula. Ya, sebagai warga yang tinggal di desa, sayang sekali kalau kayu bakar didiamkan, tidak dimanfaatkan. Kini penglihatanku tertuju pada ember yang terisi penuh abu. Hanya abu, tapi itu bukan abu hasil pembakaran kayu bakar. Tapi, abu itu adalah abu yang diambil dari halaman depan. Abu itulah abu dari kejadian Merapi waktu itu. Tak bisa ku bayangkan bagaimana hujan abu kala itu. Yang terbayang adalah bagaimana repotnya ibuku membersihkan rumah dari debu yang berterbangan karena hujan tak kunjung datang meredam keadaan.
Kini ku beralih ke halaman sekeliling rumah. Lebih hijau. Mungkin karena saat ini sedang musim penghujan. Pohon Bougenvile yang saat itu ku tinggal tengah meranggas kini tampak segar dengan daunnya yang lebat. Pohon coklat yang dulu begitu enggan berbuah rupanya kini sudah mulai menampakkan buahnya. Demikian pohon sukun depan rumah. Lama tak kunjung berbuah, ia menampakkan beberapa buah yang bergelantungan. Dari sekian pohon, pohon rambutan di samping rumah lah yang begitu senang melihat kedatanganku. Terbukti dari banyaknya buah yang bergelantung disana. Mungkin lagi-lagi ku terlalu berlebihan dalam pendeskripsian ini karena pada kenyataannya saat ini memang musim rambutan. Tapi, kenapa yang di belakang rumah tak berbuah ya?
Benda-benda yang ku rindukan seperti tivi dan komputer ternyata masih berada di posisi yang sama. Chanel/saluran televisi pun masih sama, tak berubah. Saluran 6 masih berwarna hitam karena memang ‘ra nyaut’. Saluran 9 juga masih saja mempromosikan produk alat masaknya itu. Sementara komputer, kini tak lagi ku dengar bunyi “tittttt.....tiiitttttttttttt...........tiiiiitttttt”. Hanya saja, komputer ini sekarang lebih berdebu. Biasanya aku disuruh ibuku mengetikkan tugas kuliahnya, namun kini ibuku lebih sering meminta temannya mengerjakan tugas itu. Komputer pun jarang digunakan.
Akan tetapi, komputer itu pun masih berfungsi dengan baik, namun anehnya ketika ku coba ingin memakainya, komputer itu melakukan booting terus. Aku tak tahu kenapa karena ilmuku baru sampai pada bongkar pasang komponen CPU. Apakah mungkin komputer itu juga malu-malu melihat kedatanganku?
Entahlah....yang jelas aku bahagia bisa kembali ke rumah ini!!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar