RSS

SNEEMO 2012

Batik @SNEEMO 2012
Alloh Maha Penyayang :)
I LOVE ALLOH :*
Keinginan itu sudah tertulis, berharap segera tercoret setelah keinginan itu menjadi kenyataan. Sayangnya, ketika waktu itu tiba, maka keinginan hanya sebatas impian yang tak mungkin terwujud. Apakah itu?
.ikut SNEEMO
itu adalah salah satu resolusiku di tahun 2012. SNEEMO merupakan kepanjangan dari Seminar Nasional “Efisiensi Energi untuk Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur & Otomotif Nasional”.  
Tahun ini adalah tahun ketiga SNEEMO ini digelar dan tahun ini aku mengikutinya, maka tahun ini adalah tahun kedua aku menjadi peserta.
Tahun lalu, peserta yang dari kalangan mahasiswa diambil dari 3 besar masing-masing prodi. Perwakilan BEM juga mendapat jatah untuk menjadi peserta. Selain itu, mahasiswa yang datang ke Seminar Nasional itu adalah panitia yang membantu jalannya seminar.
Aku bukan anggota BEM, tentu saja aku tak mendapat undangan khusus. Aku juga tak jadi panitia, bahkan aku tak tahu akan adanya SNEEMO saat itu. Dan apakah aku 3 besar di MI 2010? Tidak juga. Lantas apakah aku mengikuti SNEEMO 2011? Ya.
Kog bisa? Bisa dong.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tempelan


Hidup di Jakarta membuatku berpikir banyak hal. Segala rumor tentang Jakarta ternyata bukan hanya omongan atau sekedar berita di televisi. Mulai dari kemacetan yang sampai saat ini belum teratasi, banjir di musim penghujan, rumah-rumah kumuh di kolong jembatan atau di sepanjang rel kereta api, sampah-sampah yang semakin menggunung, hingga kriminalitas tingkat dewa.
Ketika ku mulai menginjakkan kaki di ibukota ini hingga lebih 2 tahun aku merasakan suasana Jakarta, ku temukan fenomena-fenomena di atas. Miris melihatnya. Ketika sungai-sungai hitam dengan bau tak sedap terdapat ribuan sampah yang mengapung di atasnya. Ketika ratusan mobil berada di jalanan, suara klakson tak henti-hentinya terdengar. Dan melihat sifat orang-orang Jakarta yang tidak sabaran, lampu merah di perempatan jalan seakan tak berguna. Jalan trotoar yang diperuntukkan bagi pejalan kaki pun menjadi jalan tersendiri bagi para pengguna motor yang tak ingin terhimpin kemacetan. Dan untuk soal kriminalitas, maka tak perlu dipertanyakan lagi. Aku pernah menjadi korban dari tindak kriminalitas itu, saat seseorang mencoba mencuri dompetku dengan cara menyilet tasku atau ketika seseorang berhasil mengambil handphone tanpa sepengetahuanku.
Ada satu hal lagi yang ku ketahui tentang Jakarta, yaitu ketika orang-orang mulai menghalalkan segala cara agar ia mendapatkan uang demi sesuap nasi. Mungkin ini sudah termasuk tindak criminal, tapi aku rasa ini berbeda. Bukan. Bukan korupsi. Korupsi bukan suatu yang aneh di negeri ini. Sudah banyak orang yang membicarakannya. Lantas apa? Yaitu ketika orang sudah tak memiliki rasa malu.
Baiklah, tak perlu berbasa-basi lagi. Disini aku hanya ingin sekedar sharing, tanpa bermaksud untuk menjelek-jelekkan yang bersangkutan. Ini benar-benar terjadi di kehidupanku.
Dulu waktu aku SMA, aku belum pernah merasakan dunia kosan. Dan semenjak kuliah, lebih tepatnya di Jakarta, aku mulai merasakan menjadi anak kos, pisah dengan orang tua, dan tinggal dengan orang yang tak ada ikatan darah dengan kita.
Kosan pertamaku berada di Jalan Jati XI, lurus terus dari arah kampus. Aku tinggal sekamar dengan temanku beda prodi. Namanya Vita, asal Malang. Bapak kosku bekerja yang aku tak tahu dimana, sementara ibu kos jaga warung Es Kelapa Muda di depan kamar kami (aku dan Vita). Setahuku, anak mereka berjumlah 4 orang, 2 cewek dan 2 cowok.
Selama menjadi anak kos disana, aku merasa nyaman. Bapak kos begitu baik. Awal aku ngekos disana segala peralatanku disediakan. Mulai dari bantal guling, lemari, hingga ember untuk mencuci pakaian. Ibu kos juga baik. Ketika ibu memasak lebih, maka ia membaginya dengan kami.
Akan tetapi, aku tak tahu pasalnya kenapa tiba-tiba muncul peraturan-peraturan itu.
1.       Tamu tidak boleh mandi di kosan.
2.       Tamu tidak boleh men-charge laptop di kosan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sepuluh Hari di Jakarta


22 September 2012
Ini adalah hari kesepuluh aku berada di Jakarta. Baru 10 hari rasanya sudah 10 bulan. Benar-benar cepat sekali beradaptasi dengan kota yang 1 bulan lebih aku tinggalkan. Mungkin dua tahun di kota ini yang membuatku merasa demikian.
Ini memang benar-benar hari kesepuluh. Walau demikian, sudah banyak hal yang terjadi padaku. Berbagai moment dan aktivitas sudah ku jalani. Mulai dari berkunjung ke rumah Bude di Cilincing, 13 September 2012. Dini hari aku sampai di Jakarta, siangnya ku sempatkan waktu ke rumah Bude yang sudah lama tak ku kunjungi. Ternyata siang itu, pukul 11.00 WIB, macetnya luar biasa. Beberapa menit kendaraan tak bergerak sama sekali. Panasnya pun begitu … WauW. Agak kaget karena kemarin (12/9) masih berada di rumah yang dipenuhi pepohonan. Jarak yang singkat antara kosan dengan rumah Bude pun harus ku tempuh lebih dari 1 jam. Beruntungnya, Budeku ada di rumahnya. Coba bayangkan, aku sudah panas-panas naik angkot selama 1 jam dan ternyata rumahnya kosong. Tidaaaakkk!!!
Next. Inaugurasi, 14 September 2012. Sebuah pagelaran penutupan PPK & Outbound yang diisi dengan penampilan UKM dan Himma. Aku pun menjadi bagian dari pertunjukan itu. Membawa huruf B dalam penampilan Himma MI karena kali ini MI akan menampilkan susunan keyboard QWERTY dan mengetikkan kalimat Welcome To MI :). Dan yang ditunggu-tunggu setiap inagurasi tiba adalah b*nci tahunan dari prodi P4. Entah mengapa prodi ini begitu mempertahankan tradisi ini. Biarlah.
me n intan @kebun raya
Selanjutnya, 15 September 2012. Walau rasa lelah masih menghinggapi (karena inaugurasi semalam mengharuskanku pulang pukul 22.30), namun tak memutuskan semangat kami (aku, Intan, Sichi, Amir) untuk pergi ke Bogor, trip to Kebun Raya Bogor. Rupanya mudah sekali menemukan letak Kebun Raya Bogor berada. Cukup naik bus jurusan Bogor dari Tanjung Priuk. Setelah tiba di terminal Bogor dilanjutkan naik angkot 06 atau 13. Tak berapa lama, tibalah kami di Kebun Raya. Dengan membayar Rp 10.000 masing-masing orang, kami bisa menikmati per-JALAN-an panjang itu. Yah, benar-benar jalan. Menuju Griya Anggrek, Jembatan Gantung, Bunga Raflesia (yang tentu saja tak ada bunganya karena belum musim berbunga). Baru setengah perjalanan, kami memutuskan pulang. Kaki kami lelah, tak kuat lagi untuk berjalan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jahe Wangi atau Wangi Jahe?


Welcome back to Jakarta. Ya, walau harus dibumbui ketidakrelaan adikku, tapi aku harus kembali ke Jakarta karena tiket sudah terbeli. Kali ini aku tak sendiri. Aku bersama dia, yang tanggal 10 Agustus lalu menjejakkan kaki di Korea (baca: Kroya). Panggil saja dia Muu.
Tiketku ada di tangan Muu karena dia yang membeli tiket itu sebelum lebaran tiba. Beruntung stasiun dekat rumahku adalah stasiun kecil (Stasiun Jenar) sehingga tak perlu menunjukkan KTP untuk masuk peron. Bahkan ibuku masih di hadapanku ketika kereta tepat berhenti di rel sebelah aku berdiri.
Aku masuk kereta sendiri, tanpa tiket dan tanpa Muu tentunya. Muu naik dari stasiun berikutnya. K-3 5/6D. Tak ada orang di gerbong 5 nomor 6D itu. Hal itu memudahkanku naik ke atas bangku dan meletakkan tasku di tempat tas yang telah ditentukan.
Aku duduk, memandang ke arah jendela yang menampakkan langit yang semakin gelap seiring terbenamnya sang surya. Tak berapa lama kereta berhenti. Aku menanti si pembawa tiketku. Tak berapa lama ia muncul dengan dua tas besar di tangannya. Dia lah Muu. Ia kemudian berjalan melewatiku demi meletakkan tasnya di tempat tas yang masih kosong karena tempat tas di atas bangku kami sudah tak ruang kosong.
K-3 5/5D. Nomor tiket untuk Muu. Ia duduk tepat di sebelahku. Namun, sebelum ia duduk di bangku bernomor 5D, seorang ibu duduk di nomor tersebut. Ia terlihat begitu kerepotan dengan anak laki-laki dalam gendongannya. Anak laki-laki itu bernama Syahrul, usia 2 tahun 9 bulan.
“Maaf ya mas, saya duduk disini dulu. Saya pusing kalau duduk membelakangi arah kereta berjalan.”
“Ya sudah bu, kita tukeran tempat duduk saja.” kata Muu yang sekarang duduk di bangku bernomor 6E, nomor tiket ibu itu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Edisi Sebut Nama


Hai, kau tahu mengapa dalam blog ini ada label Edisi Sebut Nama?
Aku adalah orang yang begitu tertutup, pendiam, dan tak pandai berbicara. Tipe orang yang apa adanya, nggak neko-neko, dan tak bisa berbasa-basi. Begitu polos dan tak bisa berbohong.
Aku selalu berekspresi dengan tulisan-tulisanku. Dengan cara itu aku bercerita.  Aku tak bisa berkomunikasi dengan baik, bahkan sekedar menceritakan apa yang aku tulis. Bagiku, tak ada yang menarik dari cerita-cerita yang aku sampaikan. Mulut ini membungkam.
Mengingat tawa temanku akan betapa bakunya bahasaku dalam berkomunikasi membuatku semakin tidak percaya diri untuk berbicara.
Lantas, apa hubungannya dengan Edisi Sebut Nama?
Hahaha.. ku rasa deskripsi di atas belum menjawab pertanyaan pertama. Yah, walau aku tetutup tapi sekali dua kali aku bercerita. Namun, dalam bercerita aku selalu menyebutkan kata temanku, guruku, dosenku, adikku, kakakku tanpa berani menyebutkan namanya. Aku selalu menggunakan kata ganti dalam bercerita, baik cerita secara lisan maupun cerita di dalam blogku. Cobalah baca tulisan-tulisanku dari awal hingga akhir. Pasti hanya di label Edisi Sebut Nama, kau akan menemukan nama-nama orang yang muncul dalam kisahku. Selebihnya aku hanya menggunakan kata ganti dia, dia yang ini dan dia yang itu. Itulah sebabnya mengapa dalam blog ini terdapat label Edisi Sebut Nama karena jarangnya aku menyebutkan nama maka label ini (menurutku) begitu istimewa.
Terus?
Ku rasa sikap pendiam dan tertutup muncul bukan karena keinginan dari orang tersebut. Pendiam dan tertutup adalah sebuah karakter, sesuatu yang tak bisa diubahnya dengan mudahnya. Karakter bukanlah suatu pilihan. Jika karakter adalah sebuah pilihan maka banyak orang yang akan memilih karakter yang baik bagi dirinya. Karakter terbentuk saat kita kecil. Lingkungan dan keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan karakter ini. Dan ketika kita tumbuh dewasa, karakter yang berkembang dalam diri kita akan semakin sulit untuk diubah.
Hah. Aku semakin bingung dengan semua ini. Pada intinya, aku adalah orang yang tertutup dan tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Aku begitu terganggu dengan sikapku itu. Namun, aku juga tak bisa dengan mudah mengubahnya. Namun, aku ingin belajar sedikit demi sedikit. Aku ingin berlatih berkomunikasi. Apalagi di usiaku saat ini, benar-benar dibutuhkan komunikasi yang baik. Untuk itu aku akan belajar. Dan untuk start awal, mulai saat ini setiap tulisan dalam blog ini berlabel Edisi Sebut Nama. Mengapa demikian? Karena dengan aku mampu menyebut nama-nama mereka, berarti aku sedikit bisa terbuka, tidak menutup-nutupi tokoh-tokoh dalam ceritaku. Semoga tidak akan ada yang merasa keberatan namanya disebut. Dan semoga aku lebih bisa terbuka di luar dunia tulisanku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS