Hari ini aku menjalani sebuah wawancara. Wawancara yang entah aku yakin atau tidak akan hasilnya. Wawancara untuk keanggotaan MPM (Majelis Permusyawaratan Mahasiswa). Awalnya tak ada niat untukku ikuti organisasi ini. Hanya saja, aku sudah terlanjur jatuh ke kolam. Jadi, mau tak mau aku harus berenang supaya tidak tenggelam.
Saat itu, aku, intan, dan satu lagi teman sekelasku, Putri, tengah berada di jembatan. Kalau tak salah, saat itu, emmm, sedang apa ya??? Entah lah aku lupa, yang jelas saat itu tanggal 6 Desember 2010. Kami sedang duduk-duduk dan tiba-tiba beberapa senior beralmamater kuning khas Polman mendekati kami yang saat itu tak hanya bertiga. Kakak kelas itu pun menjelaskan bahwa saat itu ada pembekalan MPM dan BEM. Dan, berhubung MI tak ada yang mewakili, maka diutuslah kami bertiga untuk menghadiri acara tersebut. Pertamanya kami kaget. Waktu masuk ke ruangan, kami sudah disuguhkan 12 soal. Kami pun menjawab dengan asal.
Kami dijelaskan agenda Pemilihan Raya, kemudian dijelaskan apa itu MPM, BEM, bagaimana mekanisme menjadi anggota BEM dan MPM. Di akhir acara kami diberi formulir sebagai anggota MPM. Jedddhheeennggg!!! Gludhhaaak!!!
Tak ada niat, kami pun mendaftarkan diri dengan ketidaksengajaan tanpa penuh keterpaksaan. Dan hari ini aku menjalani wawancara seleksi anggota MPM dengan urutan ke-20. Nice number boii, tapi entahlah. Lagi-lagi aku tak yakin dengan jawabanku yang asal dan terlihat polos.
Hhahahaha....
Aku ingin tertawa jika mengingat waktu diwawancarai. Aku berasa sedang berkonsultasi dengan seorang psikolog dan tak merasa aku dalam kondisi persaingan. Terserahlah aku akan terpilih atau tidak, yang jelas aku tlah mencoba sebisa yang aku bisa.
Awalnya, mbak-mbak yang mewawancarai aku (aku lupa siapa namanya) menanyai aku seperti layaknya aku sedang melamar di sebuah perusahaan. Ku jawab apa adanya aku. Lama-kelamaan mbak ini mulai bisa membaca karakterku. Dan ia pun sepertinya kagum dengan sifat yang ku punya. Great follower yang akan terlihat lebih great ketika aku mampu men-show up apa yang ada di pikiranku. Intinya, aku punya great idea namun susah untuk mengeluarkannya sehingga aku lebih membiarkan orang lain mengungkapkan ide yang sepertinya sama denganku. Mbak itu pun berharap aku bisa diterima dan aku bisa menperlihatkan aku yang hebat ini, menurutnya.
Apa yang membuatku tertawa di awal cerita aku wawancara? Saat pertanyaan di tangan sudah habis, mbak itu menawari aku untuk bertanya. Karena di saat aku menjawab pertanyaan yang diajukan mbak itu, mbak itu selalu sharing kepadaku. Jadi saat diberi kesempatan untuk bertanya maka aku manfaatkan kesempatan itu. Aku bertanya, “Bagaimana meningkatkan keberanian untuk mengungkap sebuah ide?” mbak itu pun menjawab dengan jawaban yang memuaskan bagiku. Ia menjawab, “COBA. Cobalah mulai bicara dari hal yang kecil, misalkan saat presentasi di kelas. Tak peduli apa yang kau bicarakan ditanggapi atau tidak, yang penting kamu mencoba. Tak perlu malu, kuatkan rasa percaya dirimu.”
Kemudian mbak itu memberikanku kesempatan kedua untuk bertanya. Aku pun gunakan lagi kesempatan itu, “Semisal kita dalam suatu kelompok ditunjuk sebagai pembicara, namun pada akhirnya mengecewakan karena semisal belum siap, kurang lancar, dsb. Apa yang seharusnya kita lakukan?”
Mbak itu pun menjawab dengan jawaban sederhana, “bilang aja gini, “sorry ya, lain kali aku pasti siap dan lebih baik dari ini.” Tak perlu lah yang lebay bilang maaf(mbaknya me-mode on-kan gaya lebay).
Untuk ketiga kalinya aku ditawari untuk mengajukan pertanyaan. Namun, untungnya aku cukup tahu diri dimana posisiku saat itu. Aku sebagai orang yang diwawancarai bukan yang mewawancarai. Di akhir wawancara, mbak nya bilang, “Ada yang ditanyakan lagi. Tapi kali ini bayar ya?” terlihat senyum manis mbaknya.
Wawancara diakhiri dengan jabat tangan dan ku ucapkan salam sebagai akhir dari pertemuan singkat itu.
0 komentar:
Posting Komentar