Akhirnya perjalanan panjang ini
terlaksana juga. Perjalanan panjang yang ketiga setelah penantian yang
menjemukan. Berhari-hari menjadi penghuni kosan yang tak punya arah tujuan, lunthang-lunthung tak karuan, dan
benar-benar seperti orang yang tak punya gairah hidup.
Pagi itu aku bangun 30 menit dari
biasanya. Hal ini dikarenakan santapan sahur sudah siap dan aku tak perlu
bangun jam 3 pagi dan keluar kosan mencari sesuap nasi untuk sahur. Menu pagi
ini adalah makanan sisa dari Masjid Astra, 2 bungkus nasi padang, 1 untukku dan
satu untuknya.
Malam ketika ku dapatkan nasi
itu, tak ku berikan perlakuan apa-apa pada bungkusannya. Tetap menjadi seonggok
nasi yang tergeletak di meja. Hasilnya, ketika pagi ku buka mata dan bersiap
santap sahur, ku buka bungkusan itu. Ku dapati sayur dan sambalnya sudah tak
layak makan. Ku golek-golek nasi itu, ada ayam sayur dan sepotong telur. Ku
lihat ayamnya yang juga sudah tak sepantasnya tuk dimakan. Mau tak mau hanya
nasi dingin dan separo telur yang (sepertinya) hanya direbus. Ingin membuat mie
instant, tapi gallon sudah habis dan malas rasanya. Akhirnya dengan semangat
yang tersisa, ku paksakan diri untuk setidaknya mengisi perut ini. Dan
berhubung air gallon hanya menyisakan sedikit air, maka aku memutuskan membeli
sebotol air mineral yang berada di kulkas depan kamarku. Jadilah menu pagi ini;
nasi dingin, telur rebus, dan air dingin. Dalam hatiku berkata ‘Oh, Tuhan.
Akankah di perjalanan panjangku kali ini aku akan muntah?’ Mengingat aroma
telur yang begitu menyengat, aku benar-benar ingin muntah.
Akan tetapi aku meyakinkan diri
ini. Kau akan baik-baik saja. Usai
waktu subuh berakhir aku beranjak ke kamar mandi untuk mandi. Tak ingin aku
mengesampingkan apa yang teman-temanku sampaikan bahwasanya pagi hari akan
macet.
Pukul 5.30 pagi sudah siap. Ku
lihat teman sekamarku masih santai di atas ranjangnya. Perjalanannya pagi ini
dialihkan menjadi sore hari. Berhubung aku sudah packing dan aku sudah wangi
(sudah mandi), aku pun segera berpamitan padanya. Awalnya ku rasa ini terlalu
pagi, tapi tak apalah, daripada kemakan omongan, kena macet, kereta sudah berangkat, tiket hangus.
Seperti biasa, aku berjalan
sendirian, menyusuri jalanan yang belum menampakkan keramaian. Melewati bawah
tol, melintasi pasar, menyebrangi jembatan, dan tibalah aku di angkutan umum
yang akan mengantarku ke stasiun.
Perjalananku kali ini adalah
menggunakan kereta bisnis Fajar Utama Jogja dengan stasiun awal Pasar Senen
(PSE) dengan waktu keberangkatan 7.10 dan stasiun tujuan Wates (WS) dengan
waktu tiba 14.37.
Jalanan masih sepi. Aku tiba di
stasiun Pasar Senen pukul 6.10, persis seperti dugaanku. Masih satu jam
menunggu. Tak apalah.
Menuju peron. Disini para
pemegang tiket kereta diharuskan untuk memperlihatkan KTP untuk mencocokkannya dengan
tiket yang dipegang. Nice! Entahlah, para
calo masih bisa berkeliaran atau tidak dengan sistem seperti ini. Merasa
tak ada masalah, maka aku pun dengan gampangnya melewati petugas pemeriksa.
Aku duduk di jalur 3. Memandang
ke sekitar, mendengarkan pengumuman tiap kali kereta datang. Belum menunjukkan
kereta yang akan ku tumpangi akan segera datang. Masih pagi.
Ku lihat beberapa masinis yang
sibuk memeriksa kelengkapan kereta yang sedari tadi diam di rel kedua dari
tempatku duduk. Ku lihat inisial yang ada di kereta itu, YK, mungkin kereta itu
yang akan mengantarkanku. Ku perhatikan masinis yang kini berada di ujung
gerbong mulai menggerakan kereta ke belakang. Kini kereta itu berjalan mundur
dan lama kelamaan menghilang dari hadapanku.
Akan tetapi, tak lama kemudian,
ketika waktu sudah melewati pukul 7, kereta yang tadi menghilang kini ada di
hadapanku dan tepat di rel pertama dari tempatku duduk. Rupanya benar kereta
itu.
Aku memasuki gerbong tepat di
belakang gerbong masinis. Ku cari tempat dudukku, 3D. Ku lihat bangku yang di
setting untuk 2 orang itu telah dihuni oleh bapak paruh baya. Dengan mengucap
permisi, aku berdiri di atas bangku dan meletakkan tasku di atas.
Pukul 7.10, kereta itu mulai
berjalan. Tut. Tut. Tut. Ku lihat di sekelilingku. Di bangku samping ku lihat
sebuah keluarga kecil dengan seorang anak yang ku rasa usianya belum genap satu
tahun. Sepertinya mereka orang tua baru. Ku perhatikan putri mereka. Lucu dan
menggemaskan. Melihat gelagatku yang mungkin mencurigakan, si ibu dari anak
tersebut sesekali melirik ke arahku. Mungkin
dalam hatinya berkata, ‘Siapa kau?
Mengapa dari tadi kau memperhatikan anakku.’ Hahaha. Hanya imajinasiku
saja.
Beberapa menit kemudian.
Muncullah seorang bapak-bapak yang mengenakan seragam putih dan bertopi.
Kumisnya yang tebal mengingatkanku pada guru Bahasa Indonesia-ku sewaktu SMP, Halo Pak Kartono.. apa kabar?, ia
berjalan menuju ujung gerbong. Rupanya bapak-bapak itu tengah bersiap memeriksa
tiket penumpang kereta ini.
Beberapa bangku sebelum memeriksa
tiketku, bapak itu terhenti di satu bangku. Rupanya pak itu mendapati seorang
penumpang, bapak-bapak dengan memangku anaknya yang berumur sekitar 10 tahun.
Bapak itu hanya membawa satu tiket dan bapak pemeriksa tiket mempermasalahkan
hal itu.
“Satu tiket satu penumpang Pak.
Anak-anak juga harus bayar!”
Bapak itu pun kemudian mengambil
satu lembar uang seratus ribuan. Sementari itu bapak pemeriksa karcis mengambil
buku (lebih mirip notes) yang ada di sakunya. Ia menuliskan sesuatu. Ia merobek
kertas yang sudah ia tulisi dan menukarnya dengan uang yang dipegang bapak
pemangku anak tadi.
“Kalau mau pindah silahkan Pak.
Gerbong 2 masih banyak yang kosong!”
Ku lihat bapak itu segera pindah.
Sementara itu bapak pemeriksa tiket kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku?
Aman. Lulus Sensor.
Selang beberapa waktu, si bapak
sampingku yang sedari tadi mencoba untuk terlelap, kini permisi, beranjak
meninggalkanku. Mendapati banyak bangku yang kosong, rupanya si bapak tadi
menuju sisa bangku kosong yang ada. Inilah yang ku suka ketika naik Fajar
Utama, kereta tak penuh, dan aku bisa duduk bebas di bangku panjang ini.
Tujuh jam lagi. Lima setengah jam
lagi. Tiap jarum jam menunjukkan angka yang berbeda, ku hitung berapa lama aku
akan turun dari kereta ini. Walau terkesan lama, namun ku rasakan kereta ini
tetap melaju dengan gagahnya. Waktu tak terasa ketika aku tidur terlelap.
Sayangnya aku tak bisa memejamkan mata dengan enaknya, apalagi setelah
melintasi Cirebon. Banyak pedagang yang berlalu lalang di antara bangku-bangku penumpang.
Hingga tiba di stasiun Ciledug.
Aku tiba-tiba ingat sebuah note temanku yang dia tag ke aku. Sebuah note yang
juga terdapat gambar (foto) di dalamnya. Foto yang memperlihatkan anak-anak
yang berdiri di samping kereta yang berhenti, meminta belas kasihan para
penumpangnya untuk melempari mereka recehan uang. Dan kini aku lihat sendiri
fenomena tersebut.
Ketika kereta yang aku tumpangi
tepat berhenti, anak-anak yang jumlahnya tak hanya satu itu berlarian menuju
jendela. Dari dalam ku dengar teriakan-teriakan mereka.
“Pak, lempari uang paaaaakk..”
Mendapati respon yang kurang baik
dari para penumpang, anak-anak tadi kini mulai menggedor-gedor tubuh kereta.
Gdorr..gdrr..dorr…
“Buuu, uang buu..”
Gdorr..gdrr..dorr…
Ku perhatikan salah satu dari
mereka. Ia lebih besar dari anak-anak yang lain. Ku lihat rambutnya panjang dan
berwarna coklat keemasan ._.? Dalam hati ku berkata ‘Mereka melakukan ini semua
karena mereka benar-benar butuh atau iseng semata?’
Iseng? Ya, aku ingat ketika kecil
aku selalu mengikuti jejak kawanku. Pergi ngangsak
(mencari sisa-sisa padi dari sawah yang sudah di panen), pergi cari temu (rempah-rempah sejenis kunyit, jahe)
untuk dijual, dan pergi ke kalen (sungai
kecil dekat sawah) untuk mencari ikan. Ku lakukan itu semua karena iseng semata.
Dan kembali ke anak-anak yang tadi. Apakah mereka benar-benar membutuhkan
lemparan recehan itu?
Kereta ini mulai bergerak.
Meninggalkan stasiun dan anak-anak itu. Ku lihat satu orang anak berlari searah
dengan kereta berjalan, berharap di sisa-sisa waktu terdapat seorang dermawan
yang melemparinya uang.
Tut. Tut. Tut. Kereta melaju
dengan kencangnya.
0 komentar:
Posting Komentar