RSS

Pulaaaaangg!!!


Akhirnya perjalanan panjang ini terlaksana juga. Perjalanan panjang yang ketiga setelah penantian yang menjemukan. Berhari-hari menjadi penghuni kosan yang tak punya arah tujuan, lunthang-lunthung tak karuan, dan benar-benar seperti orang yang tak punya gairah hidup.
Pagi itu aku bangun 30 menit dari biasanya. Hal ini dikarenakan santapan sahur sudah siap dan aku tak perlu bangun jam 3 pagi dan keluar kosan mencari sesuap nasi untuk sahur. Menu pagi ini adalah makanan sisa dari Masjid Astra, 2 bungkus nasi padang, 1 untukku dan satu untuknya.
Malam ketika ku dapatkan nasi itu, tak ku berikan perlakuan apa-apa pada bungkusannya. Tetap menjadi seonggok nasi yang tergeletak di meja. Hasilnya, ketika pagi ku buka mata dan bersiap santap sahur, ku buka bungkusan itu. Ku dapati sayur dan sambalnya sudah tak layak makan. Ku golek-golek nasi itu, ada ayam sayur dan sepotong telur. Ku lihat ayamnya yang juga sudah tak sepantasnya tuk dimakan. Mau tak mau hanya nasi dingin dan separo telur yang (sepertinya) hanya direbus. Ingin membuat mie instant, tapi gallon sudah habis dan malas rasanya. Akhirnya dengan semangat yang tersisa, ku paksakan diri untuk setidaknya mengisi perut ini. Dan berhubung air gallon hanya menyisakan sedikit air, maka aku memutuskan membeli sebotol air mineral yang berada di kulkas depan kamarku. Jadilah menu pagi ini; nasi dingin, telur rebus, dan air dingin. Dalam hatiku berkata ‘Oh, Tuhan. Akankah di perjalanan panjangku kali ini aku akan muntah?’ Mengingat aroma telur yang begitu menyengat, aku benar-benar ingin muntah.
Akan tetapi aku meyakinkan diri ini. Kau akan baik-baik saja. Usai waktu subuh berakhir aku beranjak ke kamar mandi untuk mandi. Tak ingin aku mengesampingkan apa yang teman-temanku sampaikan bahwasanya pagi hari akan macet.
Pukul 5.30 pagi sudah siap. Ku lihat teman sekamarku masih santai di atas ranjangnya. Perjalanannya pagi ini dialihkan menjadi sore hari. Berhubung aku sudah packing dan aku sudah wangi (sudah mandi), aku pun segera berpamitan padanya. Awalnya ku rasa ini terlalu pagi, tapi tak apalah, daripada kemakan omongan, kena macet, kereta sudah berangkat, tiket hangus.
Seperti biasa, aku berjalan sendirian, menyusuri jalanan yang belum menampakkan keramaian. Melewati bawah tol, melintasi pasar, menyebrangi jembatan, dan tibalah aku di angkutan umum yang akan mengantarku ke stasiun.
Perjalananku kali ini adalah menggunakan kereta bisnis Fajar Utama Jogja dengan stasiun awal Pasar Senen (PSE) dengan waktu keberangkatan 7.10 dan stasiun tujuan Wates (WS) dengan waktu tiba 14.37.
Jalanan masih sepi. Aku tiba di stasiun Pasar Senen pukul 6.10, persis seperti dugaanku. Masih satu jam menunggu. Tak apalah.
Menuju peron. Disini para pemegang tiket kereta diharuskan untuk memperlihatkan KTP untuk mencocokkannya dengan tiket yang dipegang. Nice! Entahlah, para calo masih bisa berkeliaran atau tidak dengan sistem seperti ini. Merasa tak ada masalah, maka aku pun dengan gampangnya melewati petugas pemeriksa.
Aku duduk di jalur 3. Memandang ke sekitar, mendengarkan pengumuman tiap kali kereta datang. Belum menunjukkan kereta yang akan ku tumpangi akan segera datang. Masih pagi.
Ku lihat beberapa masinis yang sibuk memeriksa kelengkapan kereta yang sedari tadi diam di rel kedua dari tempatku duduk. Ku lihat inisial yang ada di kereta itu, YK, mungkin kereta itu yang akan mengantarkanku. Ku perhatikan masinis yang kini berada di ujung gerbong mulai menggerakan kereta ke belakang. Kini kereta itu berjalan mundur dan lama kelamaan menghilang dari hadapanku.
Akan tetapi, tak lama kemudian, ketika waktu sudah melewati pukul 7, kereta yang tadi menghilang kini ada di hadapanku dan tepat di rel pertama dari tempatku duduk. Rupanya benar kereta itu.
Aku memasuki gerbong tepat di belakang gerbong masinis. Ku cari tempat dudukku, 3D. Ku lihat bangku yang di setting untuk 2 orang itu telah dihuni oleh bapak paruh baya. Dengan mengucap permisi, aku berdiri di atas bangku dan meletakkan tasku di atas.
Pukul 7.10, kereta itu mulai berjalan. Tut. Tut. Tut. Ku lihat di sekelilingku. Di bangku samping ku lihat sebuah keluarga kecil dengan seorang anak yang ku rasa usianya belum genap satu tahun. Sepertinya mereka orang tua baru. Ku perhatikan putri mereka. Lucu dan menggemaskan. Melihat gelagatku yang mungkin mencurigakan, si ibu dari anak tersebut sesekali melirik ke arahku. Mungkin  dalam hatinya berkata, ‘Siapa kau? Mengapa dari tadi kau memperhatikan anakku.’ Hahaha. Hanya imajinasiku saja.
Beberapa menit kemudian. Muncullah seorang bapak-bapak yang mengenakan seragam putih dan bertopi. Kumisnya yang tebal mengingatkanku pada guru Bahasa Indonesia-ku sewaktu SMP, Halo Pak Kartono.. apa kabar?, ia berjalan menuju ujung gerbong. Rupanya bapak-bapak itu tengah bersiap memeriksa tiket penumpang kereta ini.
Beberapa bangku sebelum memeriksa tiketku, bapak itu terhenti di satu bangku. Rupanya pak itu mendapati seorang penumpang, bapak-bapak dengan memangku anaknya yang berumur sekitar 10 tahun. Bapak itu hanya membawa satu tiket dan bapak pemeriksa tiket mempermasalahkan hal itu.
“Satu tiket satu penumpang Pak. Anak-anak juga harus bayar!”
Bapak itu pun kemudian mengambil satu lembar uang seratus ribuan. Sementari itu bapak pemeriksa karcis mengambil buku (lebih mirip notes) yang ada di sakunya. Ia menuliskan sesuatu. Ia merobek kertas yang sudah ia tulisi dan menukarnya dengan uang yang dipegang bapak pemangku anak tadi.
“Kalau mau pindah silahkan Pak. Gerbong 2 masih banyak yang kosong!”
Ku lihat bapak itu segera pindah. Sementara itu bapak pemeriksa tiket kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku? Aman. Lulus Sensor.
Selang beberapa waktu, si bapak sampingku yang sedari tadi mencoba untuk terlelap, kini permisi, beranjak meninggalkanku. Mendapati banyak bangku yang kosong, rupanya si bapak tadi menuju sisa bangku kosong yang ada. Inilah yang ku suka ketika naik Fajar Utama, kereta tak penuh, dan aku bisa duduk bebas di bangku panjang ini.
Tujuh jam lagi. Lima setengah jam lagi. Tiap jarum jam menunjukkan angka yang berbeda, ku hitung berapa lama aku akan turun dari kereta ini. Walau terkesan lama, namun ku rasakan kereta ini tetap melaju dengan gagahnya. Waktu tak terasa ketika aku tidur terlelap. Sayangnya aku tak bisa memejamkan mata dengan enaknya, apalagi setelah melintasi Cirebon. Banyak pedagang yang berlalu lalang di antara bangku-bangku penumpang.
Hingga tiba di stasiun Ciledug. Aku tiba-tiba ingat sebuah note temanku yang dia tag ke aku. Sebuah note yang juga terdapat gambar (foto) di dalamnya. Foto yang memperlihatkan anak-anak yang berdiri di samping kereta yang berhenti, meminta belas kasihan para penumpangnya untuk melempari mereka recehan uang. Dan kini aku lihat sendiri fenomena tersebut.
Ketika kereta yang aku tumpangi tepat berhenti, anak-anak yang jumlahnya tak hanya satu itu berlarian menuju jendela. Dari dalam ku dengar teriakan-teriakan mereka.
“Pak, lempari uang paaaaakk..”
Mendapati respon yang kurang baik dari para penumpang, anak-anak tadi kini mulai menggedor-gedor tubuh kereta.
Gdorr..gdrr..dorr…
“Buuu, uang buu..”
Gdorr..gdrr..dorr…
Ku perhatikan salah satu dari mereka. Ia lebih besar dari anak-anak yang lain. Ku lihat rambutnya panjang dan berwarna coklat keemasan ._.? Dalam hati ku berkata ‘Mereka melakukan ini semua karena mereka benar-benar butuh atau iseng semata?’
Iseng? Ya, aku ingat ketika kecil aku selalu mengikuti jejak kawanku. Pergi ngangsak (mencari sisa-sisa padi dari sawah yang sudah di panen), pergi cari temu (rempah-rempah sejenis kunyit, jahe) untuk dijual, dan pergi ke kalen (sungai kecil dekat sawah) untuk mencari ikan. Ku lakukan itu semua karena iseng semata. Dan kembali ke anak-anak yang tadi. Apakah mereka benar-benar membutuhkan lemparan recehan itu?
Kereta ini mulai bergerak. Meninggalkan stasiun dan anak-anak itu. Ku lihat satu orang anak berlari searah dengan kereta berjalan, berharap di sisa-sisa waktu terdapat seorang dermawan yang melemparinya uang.
Tut. Tut. Tut. Kereta melaju dengan kencangnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar