Welcome back to Jakarta. Ya,
walau harus dibumbui ketidakrelaan adikku, tapi aku harus kembali ke Jakarta
karena tiket sudah terbeli. Kali ini aku tak sendiri. Aku bersama dia, yang
tanggal 10 Agustus lalu menjejakkan kaki di Korea (baca: Kroya). Panggil saja
dia Muu.
Tiketku ada di tangan Muu karena
dia yang membeli tiket itu sebelum lebaran tiba. Beruntung stasiun dekat
rumahku adalah stasiun kecil (Stasiun Jenar) sehingga tak perlu menunjukkan KTP
untuk masuk peron. Bahkan ibuku masih di hadapanku ketika kereta tepat berhenti
di rel sebelah aku berdiri.
Aku masuk kereta sendiri, tanpa
tiket dan tanpa Muu tentunya. Muu naik dari stasiun berikutnya. K-3 5/6D. Tak
ada orang di gerbong 5 nomor 6D itu. Hal itu memudahkanku naik ke atas bangku
dan meletakkan tasku di tempat tas yang telah ditentukan.
Aku duduk, memandang ke arah
jendela yang menampakkan langit yang semakin gelap seiring terbenamnya sang
surya. Tak berapa lama kereta berhenti. Aku menanti si pembawa tiketku. Tak
berapa lama ia muncul dengan dua tas besar di tangannya. Dia lah Muu. Ia
kemudian berjalan melewatiku demi meletakkan tasnya di tempat tas yang masih
kosong karena tempat tas di atas bangku kami sudah tak ruang kosong.
K-3 5/5D. Nomor tiket untuk Muu.
Ia duduk tepat di sebelahku. Namun, sebelum ia duduk di bangku bernomor 5D,
seorang ibu duduk di nomor tersebut. Ia terlihat begitu kerepotan dengan anak
laki-laki dalam gendongannya. Anak laki-laki itu bernama Syahrul, usia 2 tahun
9 bulan.
“Maaf ya mas, saya duduk disini
dulu. Saya pusing kalau duduk membelakangi arah kereta berjalan.”
“Ya sudah bu, kita tukeran tempat
duduk saja.” kata Muu yang sekarang duduk di bangku bernomor 6E, nomor tiket
ibu itu.
Kini Muu berada di depanku.
Kulitnya yang tambah hitam membuatnya terlihat menawan. Sementara itu, ibu di
sebelahku terlihat sedang mencari posisi yang nyaman untuk dirinya dan anaknya.
Ibu itu berasal dari Magelang. Ia
menuju Jakarta karena anaknya merindukan ayahnya yang bekerja di Jakarta. Anak
itu lucu walaupun nakalnya minta ampun. Ia sedang batuk dan selalu membuatku
tertawa saat ibunya memarahinya ketika ia tak menutupi mulutnya saat batuk.
Anak itu begitu lengket dengan ibunya dan tak mau jika tak bersama ibunya.
Dari cerita ibunya, ku tahu
Syahrul adalah anak pertama dari dua berssaudara. Kedua anak dari ibu itu cowok
semua. Sang ibu pun menceritakan begitu lucunya anak-anak mereka. Tak lupa ia
menceritakan betapa nakalnya anak-anak itu, terutama Syahrul.
Walau demikian, saat Syahrul
tertidur dalam dekapan ibunya di kereta, sang ibu membuka hapenya dan
menunjukkan foto-foto kedua anaknya kepadaku dan kepada Muu juga.
Syahrul adalah anak yang di rumah
tak banyak minta dibelikan sesuatu saat ibunya berbelanja di warung. Ku tahu
itu dari cerita ibunya. Dan dengan alasan itu, maka sang ibu tak bisa menolak
permintaan anaknya untuk membeli makanan yang dijajakan para penjual di kereta.
“Adek mau jahe wangi?”
Syahrul mengangguk atas tawaran
ibunya. Tak berapa lama segelas Jahe Wangi pun siap. Dan karena masih panas,
Jahe wangi itu diletakkan di tempat gelas yang berada di hadapanku dan di
hadapan Muu. Di tempat gelas itu ada botol minum milik ibu tadi.
Beberapa saat kemudian…
Syahrul yang duduk di sebelah
kananku sepertinya kurang nyaman karena jajan yang ku letakkan di bangku cukup
mengganggu duduknya. Aku pun mengambil jajanku, berniat memindahnya di sisi
yang lain agar tak mengganggu. Dan saat aku mulai memindahnya, di saat itu pula
aku tak menyadari bahwa plastik yang berisi jajan itu telah menyenggol botol
minum di tempat gelas. Botol itu terjatuh dan parahnya botol itu menyenggol
gelas Jahe wangi dan …
ByurrRrr…
Segelas Jahe Wangi itu tumpah.
Sebagian isi gelas itu kini berpindah di baju, jaket dan celana Muu. Oh My GOD…Maafkan aku Muu…
Muu segera ke kamar mandi dengan
satu bungkus tisu dariku. Sekembalinya dia, ku lihat dia. Raut wajahnya seakan
berkata “Nggak pa pa. Aku baik-baik saja.”
“Dirimu wangi jahe, Muu.”
Malam semakin larut. Aku dan para
penumpang lain terlelap dalam tidur.
Pukul 02.00 kurang 10 menit di
stasiun Jatinegara. Sang ibu turun, juga beberapa penumpang lainnya, menyisakan
penumpang yang turun di stasiun PasarSenen.
Sekitar pukul 02.00 akhirnya kereta
sudah berada di stasiun pemberhentian terakhir. Semua penumpang turun dari
kereta.
Perjalanan kali ini begitu berat.
Bagaimana tidak? Dengan tas punggung yang begitu full dan satu buah tas jinjing yang juga penuh membuat langkah ini
terasa berat. Apalagi melihat Muu dengan barang bawaannya, membuat kami
beberapa kali berhenti, menghela napas, dan melanjutkan perjalanan meninggalkan
stasiun.
Kami berada di stasiun hingga
pukul 02.30 WIB, menunggu angkutan yang bisa membawa kami ke kosan
masing-masing. Metromini 07, itulah tujuan kami. Rupanya kendaraan itu sudah
berada di pinggir jalan kala kami keluar dari stasiun.
Lagi-lagi ku katakan perjalanan
ini begitu berat. Lihatlah kami memasukkan bawaan kami ke dalam metromini. Dan
karena banyaknya barang bawaan, kami duduk terpisah. Beruntung saat itu
metromini tidak sepenuh biasanya.
Akan tetapi, aku yang duduk dua
bangku di belakang Muu merasakan hawa ketidaknyamanan. Pembicaraan dua orang
yang ada di belakangku cukup membuatku berpikiran yang tidak-tidak. Aku semakin
tidak nyaman saat seseorang duduk di bangku sebelah bangkuku. Seseorang itu
memakai rok mini dan lihatlah ia memakai selendang di kepalanya. Dan dugaanku
benar, dua orang yang duduk di belakangku tak lain adalah teman dari si wanita dengan rok mini tadi.
Dalam sunyinya metromini,
pembicaraan mereka mendominasi. Tambah ramai saat satu dari kawan mereka masuk
ke dalam metromini dan duduk di belakang wanita
rok mini yang kalau tak salah bernama Shanti.
Oh, My GOD… ada 4 wa*ia disini..
Aku hanya diam. Tak berani
berkomentar. Apalagi berbicara.
0 komentar:
Posting Komentar