Hidup di Jakarta membuatku
berpikir banyak hal. Segala rumor tentang Jakarta ternyata bukan hanya omongan
atau sekedar berita di televisi. Mulai dari kemacetan yang sampai saat ini
belum teratasi, banjir di musim penghujan, rumah-rumah kumuh di kolong jembatan
atau di sepanjang rel kereta api, sampah-sampah yang semakin menggunung, hingga
kriminalitas tingkat dewa.
Ketika ku mulai menginjakkan kaki
di ibukota ini hingga lebih 2 tahun aku merasakan suasana Jakarta, ku temukan
fenomena-fenomena di atas. Miris melihatnya. Ketika sungai-sungai hitam dengan
bau tak sedap terdapat ribuan sampah yang mengapung di atasnya. Ketika ratusan
mobil berada di jalanan, suara klakson tak henti-hentinya terdengar. Dan
melihat sifat orang-orang Jakarta yang tidak sabaran, lampu merah di perempatan
jalan seakan tak berguna. Jalan trotoar yang diperuntukkan bagi pejalan kaki
pun menjadi jalan tersendiri bagi para pengguna motor yang tak ingin terhimpin
kemacetan. Dan untuk soal kriminalitas, maka tak perlu dipertanyakan lagi. Aku
pernah menjadi korban dari tindak kriminalitas itu, saat seseorang mencoba
mencuri dompetku dengan cara menyilet tasku atau ketika seseorang berhasil
mengambil handphone tanpa sepengetahuanku.
Ada satu hal lagi yang ku ketahui
tentang Jakarta, yaitu ketika orang-orang mulai menghalalkan segala cara agar
ia mendapatkan uang demi sesuap nasi. Mungkin ini sudah termasuk tindak
criminal, tapi aku rasa ini berbeda. Bukan. Bukan korupsi. Korupsi bukan suatu
yang aneh di negeri ini. Sudah banyak orang yang membicarakannya. Lantas apa? Yaitu ketika orang sudah tak
memiliki rasa malu.
Baiklah, tak perlu berbasa-basi
lagi. Disini aku hanya ingin sekedar sharing, tanpa bermaksud untuk menjelek-jelekkan
yang bersangkutan. Ini benar-benar terjadi di kehidupanku.
Dulu waktu aku SMA, aku belum
pernah merasakan dunia kosan. Dan semenjak kuliah, lebih tepatnya di Jakarta,
aku mulai merasakan menjadi anak kos, pisah dengan orang tua, dan tinggal
dengan orang yang tak ada ikatan darah dengan kita.
Kosan pertamaku berada di Jalan
Jati XI, lurus terus dari arah kampus. Aku tinggal sekamar dengan temanku beda
prodi. Namanya Vita, asal Malang. Bapak kosku bekerja yang aku tak tahu dimana,
sementara ibu kos jaga warung Es Kelapa Muda di depan kamar kami (aku dan
Vita). Setahuku, anak mereka berjumlah 4 orang, 2 cewek dan 2 cowok.
Selama menjadi anak kos disana,
aku merasa nyaman. Bapak kos begitu baik. Awal aku ngekos disana segala
peralatanku disediakan. Mulai dari bantal guling, lemari, hingga ember untuk
mencuci pakaian. Ibu kos juga baik. Ketika ibu memasak lebih, maka ia
membaginya dengan kami.
Akan tetapi, aku tak tahu
pasalnya kenapa tiba-tiba muncul peraturan-peraturan itu.
1. Tamu
tidak boleh mandi di kosan.
2. Tamu
tidak boleh men-charge laptop di kosan