“Iman tak dapat diwarisi..
Dari seorang ayah yang bertaqwa..
Ia tak dapat dijual beli..
Ia tiada di tepian pantai..”
Demikian sepenggal lagu dari Raihan yang dibawakan oleh kami, [ladies] Asy-Syabab Voice. Kami??? Ya, aku ikut ambil bagian dalam nasyid ini. Nasyid untuk acara yang sudah direncanakan sekitar 2 bulan sebelumnya. Aku pun tak tahu menahu mengapa aku bisa digabungkan dalam group nasyid yang latihannya super mendadak. Benar-benar fokus latihan adalah malam sebelum hari H, hari ini.
Acara yang digelar Keputrian Rohis Asy-Syabab kali ini benar-benar lancar, selancar perasaan senangku dan rasa cintaku pada-Nya. Terkesan lebay dan memuakkan, namun, hari ini aku benar-benar senang.
Mulai dari seminar yang berjalan dengan mulus walau hanya dengan 60 peserta dan sekitar 30 panitia. Walau peserta kurang dari target yang ditentukan, semangat kami sebagai panitia tak sedikit pun turun.
Pada seminar kali ini, aku tak mendapat tugas MC, Moderator, Bagian registrasi atau yang lainnya. Rupanya aku ditempatkan di ruangan terisolasi sehingga aku tak bisa mendengarkan materi yang jauh dari pembicara. Rupanya, aku yang dari awal ditunjuk sebagai sekretaris harus menjalankan tugas mulia yang satu ini, mengeprint sertifikat. Beruntung aku ditemani kembaranku, Siti, sehingga aku tak merasa sendirian. Cukup lama aku berkutat pada keadaan yang sama, memilih layout dan print A4 dengan layout harus terlihat semua. Semua terlihat begitu mudah namun tidak prakteknya. Beberapa kertas sudah menjadi trial paper. Tak ada yang memuaskan dan akhirnya kami membuat keputusan yang sangat berat, memotong kertas itu sesuai dengan hasil yang sudah tercetak. Waktu terus berputar. Rencana itu berjalan lancar.
Setelah semua nama tercetak pada kertas tebal warna kuning itu, aku harus naik ke atas menemui Mbak Wiwik, pembina keputrian yang berhak menandatangani sertifikat tersebut. Aku ditemani Ka Lita, kakak tingkat yang dulunya pernah ku cetuskan sebagai Ijam alias Ibu Jamur. Kami berdua naik 1 lantai ke lantai lima. Pintu lantai 5 tak secara mudah bisa diakses dari luar sehingga kami pun harus memanggil seseorang yang berada dalam ruangan untuk membukakan pintunya.
Pintu pun terbuka. Aku dan ka Lita masuk menemui Mbak Wiwik yang ditemani 2 orang rekan kerjanya yang masih balita. Mereka adalah putra-putri Mbak Wiwik. Satu berumur 4 tahun dan adiknya berumur 2 tahun. Mereka terlihat lucu walau tak menggemaskan, setidaknya mereka tak menjengkelkan.
Bertemu Mbak Wiwik, kami mengungkapkan maksud dan tujuan kedatangan kami. Mbak Wiwik pun mengerti, namun ia meminta salah satu dari kami mengambilkan jajan yang ada di lantai 4. Takutnya, anaknya rewel di tengah-tengah pekerjaannya. Akhirnya ka Lita yang turun dan aku stand by di atas bersama 2 malaikat kecil nya Mbak Wiwik. Aku tak tahu nama mereka namun ku rasa mereka adalah anak-anak yang cerdas. Ia, yang berumur 2 tahun sudah bisa berhitung 1 sampai 10. Ia pun mengerti gambar-gambar yang muncul di layar monitor meja kerja Mbak Wiwik. Sementara itu, kakak nya asyik dengan alat tulis yang ada di depannya. Sementara aku, menjaga keduanya dengan harapan ka Lita segera hadir menyusulku. Hingga Mbak Wiwik menyelesaikan pekerjaannya, ka Lita belum muncul dan akhirnya aku harus turun sendirian dengan berlembar-lembar sertifikat yang sudah bertanda-tangan dan dicap.
Aku langsung menemui ka Lita. Rupanya ia tadi sudah naik ke atas dan menghubungiku lewat HP yang ternyata tertinggal di ruang sekretariat. Tak apalah menjadi baby sitter sejenak.
Permasalahan kembali saat muncul saat OB yang selalu bertugas di fotocopyan tidak datang. Mau tak mau kami harus ke fotocopyan terdekat. Acara seminar yang sudah selesai dan saat itu diisi oleh promosi Polman Astra membuat keadaan semakin genting. Akhirnya aku dan ka Lita(lagi) segera meluncur. Dengan keahlian Pedrosa, ka Lita memboncengkanku hingga beberapa kali aku harus menahan nafas. Alasannya simple, takut jatuh.
Rupanya Alloh sangat baik. Kami datang tepat waktu. Namun, di akhir pembagian sertifikat ada beberapa yang komplain. Baiklah, kami layani dengan tangan terbuka dan senyuman lebar. Semuanya begitu sempurna dan bahagia.
Kebahagiaanku tak berhenti sampai sini. Sore hari setelah aku bersama paketanku tidur aku mendapatkan sms dari Indra (sebut saja demikian). Padanya, aku titip tiket kereta untuk kepulanganku yang ketiga. Aku tahu tiket sudah habis terjual, tapi aku percaya ia bisa mencarikan satu lembar tiket untukku. Dan benar saja, sekitar jam 7 lebih, Indra datang ke kosanku dengan seorang temannya, Rohmat (sepertinya nama sebenarnya), dan tentu saja dengan satu buah tiket di tangan walau harganya lebih mahal dari yang tertuliskan di tiket. Dengan datangnya tiket itu, satu masalahku pun teratasi. Setelah kemarin ditanya oleh kawanku mengapa aku terlihat tenang karena H-5 aku belum dapat tiket, kini semua terjawab. Lebih menggembirakan lagi, aku bisa satu gerbong dengan mereka. Tak ku sangka, Alloh mengaturnya begitu indah. Aku yang biasanya pulang sendirian, kini aku ada temannya. Semoga semuanya seindah bayanganku.
Bahagiaku tak sampai disitu. Malam ini aku bersama partner yang biasa ku habiskan waktu malamku bersamanya jalan-jalan menuju tempat yang bisa mengganti galon kami yang beberapa hari ini terlihat kosong. Jauh-jauh kami berjalan hingga ke mart-mart yang berhadapan itu, rupanya keduanya kosong. Pulang lah kami dengan galon kosong. Aku pun merekomendasikan untuk ke warung yang agak jauh di depan kosan. Berharap sang penjaga warung bisa mengantar itu ke kosan kami. Sayangnya yang jualan adalah ibu-ibu, bukan bapak-bapak yang sebelumnya pernah ku membeli galon padanya. Dengan modal nekat pasti bisa, kami menjunjung galon itu. Berat. Aku tak kuat membawanya hingga pertigaan.
“Eii..tolong bantuin!” teriak teman kosku pada pengendara motor berkaos merah dengan orang yang memboncengnya pun berkaos merah.
“Tolong bawain galon ini ke kosan dong!” pintaku.
Ia pun dengan sigap langsung membawanya dan meninggalkan kami. Dua orang yang tak asing karena keduanya ku temui sekitar jam 7 tadi. Dua orang yang sama. Hari ini rupanya Alloh menunjukkan kasih sayangnya padaku lewat mereka. Mereka, semua orang yang mengisi hariku mulai dari aku membuka mata hingga mata ini tertutup.
Terima kasih kawan.
0 komentar:
Posting Komentar