Telah lama aku menulis sesuatu yang jelas. Akhir-akhir ini aku justru vakum dari ketertulisanku dan sebelum akhir-akhir ini semua tulisanku seakaan tak bernyawa karena aku menulisnya dengan separuh nyawa. Separuh nyawaku yang lain seaakan menguap bersama kata-kata yang bergelayut dalam siang-siangku.
Dan kini, ketika orang-orang yang menyuarakan kata-kata ini tidak menghantuiku, komputerku justru dibajak oleh orang yang terpojokkan, maksudku orang yang selalu di pojok depan.
Berbicara sesuatu yang jelas, aku sendiri tak tahu apakah aku ini jelas atau tidak.
Satu orang datang ke hadapanku dan menjawab pertanyaan yang baru saja ku lontarkan, “Lo, nggak jelas, Mi”.
Putus sudah harapanku untuk menulis sebuah kejelasan. Dan setelah ku telusuri lebih dalam, ku rasa aku memang tak jelas. Namun, ketika tiba-tiba sesosok pria jangkung mendekat dan ku paksa untuk menjawab pertanyaan yang sama, ia hanya menjawab “embohH”. Hal ini membuatku berpikir dua kali apakah aku ini jelas atau tidak. Tapi aku masih berada dalam pemikiranku yang menjelaskan aku yang tak jelas. Bukan wajahku yang tak jelas, bukan pikiranku yang tak jelas, namun keadaan lah yang tak jelas.
Keadaan yang tak jelas. Ini berarti lingkunganku tidak jelas. Kalau lingkungan tidak jelas, berarti orang yang mendiami lingkungan ini tidak jelas. Jika demikian, maka teman-temanku lah yang tak jelas.
Ku rasa aku sudah mulai mengarah ketidakjelasanku. Baiklah, aku akan berbelok ke arah aku datang.
Aku adalah seorang mahasiswa. Menurut pandangan banyak orang, mahasiswa adalah mereka, orang-orang yang kritis yang selalu terlibat dalam masalah-masalah yang dihadapi negara. Indonesia, begitu kompleksnya negara ini. Masalah yang saat ini merebak luas adalah kasus ulat bulu yang merebak luas di berbagai daerah di pulau Jawa dan menjalar hingga Bali. Hingga kini pemerintah belum melakukan tindakan nyata untuk menghentikan masalah ini. Apa perlu mahasiswa melakukan demonstrasi untuk mendesak pemerintah menyelesaikan masalah ini?
Masalah di Indonesia tak hanya seperti itu. Masalah yang ada semenjak jaman dahulu kala dan sekarang masih ada adalah kemisikinan. Kemiskinan masih saja terjadi dimana-man, bahkan di ibukota sendiri. Banyak dari saudara kita masih bertempat tinggal di bawah jembatan. Namun, ku masih bersyukur, mereka tinggal di jembatan tol, bukan di jembatan penyebrangan. Sungguh merana negeri ini.
Aku memang seorang mahasiswa. Namun, aku bukan mahasiswa seperti yang kebanyakan orang katakan. Aku lebih suka tertawa bebas dan tak memperdulikan urusan negara. Ku rasa negara ini sudah ditangani orang-orang yang memang layak menanganinya. Lebih baik aku memikirkan mimpi-mimpi yang ingin ku wujudkan.
Cukup sudah aku berbicara negara. Tak cukup memory otak ku untuk meload semua kata-kata yang barusan ku ungkapkan. Bahkan seseorang mengungkapkan bahwa aku semakin tak jelas. Baik lah, aku akan mencari bahan pembicaraan yang lain.
Memandang ke arah kanan tempat ku berdiam sekarang. Ia tengah disibukkan dengan soal-soal matematika. Ia tak sedang mempelajari mata kuliah matematika diskrit yang sedang hangat-hangatnya tak dibicarakan. Ia sedang melakukan pekerjaannya, membuat modul untuk anak didiknya. Aku begitu salut dengannya, ia mampu membagi waktu untuk kuliah dan bekerja.
Aku teringat beberapa harapan yang ku bacakan saat pelajaran bahasa Inggris. Guruku berkata “Simpan harapan-harapan kamu dan lihat apakah suatu saat nanti impian kamu itu akan terwujud atau tidak.”
Sekarang aku melihat diriku sendiri. Dari 10 harapan yang ku tuliskan, yang ku ingat hanya 2;
- Aku ingin mendapat IP = 3.9
- Aku ingin kuliah sambil bekerja
Untuk harapanku yang pertama, mungkin aku hanya butuh kerja keras. IP pertamaku di semester I = 3.84, sedikit perjuanganku lagi maka impianku akan teruwujud.
Harapanku kedua cukup sulit ku wujudkan. Jadwalku kuliah mulai jam7.30 – 16.30. dalam range waktu itu aku hanya berkutat di kampus, mendengarkan dosen yang suaranya menghiptonisku dalam siang hariku. Aku tak begitu yakin harapan keduaku ini bisa terwujud atau tidak, tapi aku begitu salut dengan mereka-meraka yang mampu membagi waktunya dengan baik.
Impian. Di tempatku berteduh saat ini bukan lagi impian yang dibahas melainkan tujuan akhir. Apa tujuan akhirmu? Begitulah yang selalu orang-orang tanyakan dan aku pun selalu tak punya jawaban untuk pertanyaan itu."SUKSES DUNIA AKHIRAT" itulah jawaban umumku.
seorang teman dengan penuh percaya diri mengatakan ingin mendirikan bengkel untuk menjawab pertanyaan itu. Dan aku hanya bisa mengamininya.
Aku berpikir sekarang, apa yang menjadi tujuan akhirku?